Rabu, 26 Juni 2013

Nihon Ningyo no Origami



Nihon ningyou berarti wanita Jepang yang memakai Kimono. Sejarah tercatat tentang nihon ningyo dimulai sejak jaman Edo. Pada saat itu perempuan yang akan menikah mendapatkan hadiah berupa bonekaBoneka pada saat itu dianggap sebagai perlambang, yang akan menjadi pengganti penerima nasib buruk, yang dialami oleh yang memilikinya. Karena pada jaman Edo perempuan dianggap sebagai pihak yang lemah, dan harus menerima nasibnya begitu saja, maka kepergiannya ke rumah pihak pengantin pria selalu ditemani oleh boneka.


Peranan boneka sebagai penghalau nasib sial masih berlanjut hingga saat ini. Semakin bagus dan semakin mahal boneka yang diberikan akan memperlihatkan kedudukan masing-masing keluarga tersebut.

Boneka Jepang yang tinggi nilainya dan diakui sebagai alat untuk acara lamaran adalah yang mempunyai ciri di bawah ini:



1.Bajunya dibuat dengan kain kimono asli
2.Rambutnya dihias denga hiasan asli ( bukan untuk boneka)

3.Aksesoris yang digunakan adalah aksesoris asli dalam bentuk kecil 



Ada lima jenis-jenis Nihon Ningyo, yaitu sebagai berikut:
1.舞妓 ( maiko )   
2.藤娘 ( fuji musume )
3.町娘 ( machi musume )
4.武家娘 ( buke musume )
5.姫君 ( hime gimi )

Warabe Uta

Warabe uta ( 童歌 ) adalah lagu tradisional Jepang, mirip dengan sajak. Lagu ini sering dinyanyikan sebagai bagian dari permainan tradisional anak. Warabe uta digambarkan sebagai min'yo: lagu tradisional Jepang, biasanya dinyanyikan tanpa instrumen yang menyertainya. Berikut ini adalah contoh dari Warabete Uta:

Toryanse


"Toryanse" sering dimainkan sebagai lagu di penyeberangan pejalan kaki di Jepang untuk sinyal kapan waktu yang aman untuk menyeberang.


Romaji:
Touryanse, touryanse
koko wa doko ada Hosomichi ja?
Tenjij-sama no nai mono toushasenu
kono kono Nanatsu ada aiwai ni 
O-Fuda wo osame ni mairimasu
Iki wa yoi yoi, kaeri wa kawai
kawai nagara mo
Touryanse, touryanse 

Terjemahan:
Biarkan aku lewat, biarkan aku lewat, apakah disini jalur sempit?
Ini jalur sempit Tenjil kuil
Perkenankan saya untuk melewati
Mereka yang tidak memiliki alasan yang baik tidak akan berlalu
Untuk merayakan ulang tahun ke-7 anak ini
Aku datang untuk menawarkan
Pergi saja baik-baik Mei, baik-baik saja, 
tapi kembali akan menakutkan
Biarkan aku lewat, biarkan aku lewat  


Khususnya warabe-uta dinyanyikan sebagai bagian dari permainan tradisional yang identik dengan "London Bridge Falling Down". Dua anak yang menghadapi setiap hubungan lain dari tangan mereka untuk membentuk lengkungan 'pos'. Dua anak yang tersisa berjalan melalui garis bawah dalam (dua bulat kembali lagi dalam lingkaran). Apabila seorang anak yang kebetulan berada dibawah lengkungan, ketika lagu selesai maka dia akan tertangkap.

Lagu yang dimainkan di penyeberangan pejalan kaki di Jepang untuk permainan ini, analoginya yaitu, aman untuk menyeberang jalan sampai musil berhenti.

Teru-teru-bozu

Teru-teru bozu adalah boneka tradisional buatan tangan yang memancarkan cahaya sinar matahari. "Teru" artinya adalah menggambarkan tentang sinar matahari dan "bozu" adalah seorang birawan Buddha. Anak-anak membuat teru-teru bozu dari kertas tisu dan string,setelah itu mereka gantungkan di jendela dan berharap untuk cuaca yang cerah. Warabe uta terkenal dengan hantu kecil yang lucu dan dapat Anda lihat bergantung dimana-mana pada hari hujan, terutama di jendela.





Romaji:
Teru-teru-bozu, teru bozu ashita tenki ni 
shite o kure itsuka no yume no sora no yo
ni Haretara kerabat no suzu egeyo teru-
teru-bozu, teru-bozu ashita tenki ni shite 
o-kure watashi no Negai wo kiita nara 
amai o-sake wo tanto nomasho teru-teru-
bozu, teru bozu ashita tenki ni shite 
o-kure sore de mo kumotte naitetara 
sanata no kubi wo chon ke kiru zo

Terjemahan: 

Teru-teru bozu, teru bozu besok hari yang
cerah seperti langit dalam mimpi
kadang jika cerah aku aka memberimu emas
Teru-teru bozu, teru bozu jangan membuat
esok hari yang cerah jika kamu membuat keinginan 
aku buat jadi kenyataan, kami akan minum ba-
nyak sake. Teru-teru bozu, teru bozu jangan
membuat esok hari yang cerah berawan, dan
aku melihat mu menangis (yaitu hujan) lalu
aku usap air mata mu


Fuyu no Uta


Fuyu no Uta (冬の歌)adalah lagu anak-anak Jepang. Ketika itu turun salju dan mereka ingin bermain di luar.  'Fuyu' berarti 'dingin', begitu judul dapat diterjemahkan sebagai "winter song".


Romaji:

yuki ya konko, arare ya konko, futtewa futtewa
zunzun tsumoru yama mo nohara mo wataboshi
kaburi kareki nokorazu hana ga saku yuki ya konko,
arare ya konko futtemo, futtemo, mada furiuamanu
inu wa yorokobi, niwa kakemawari neko wa 
katasu de marukunaru

Terjemahan:

Salju turun padat, hujan es banyak berjatuhan
jatuh dan jatuh, mengumpulkan lebih banyak dan lebih
Pegunungan dan bidang juga mengenakan topi kapas mereka
dan setiap pohon bunga mekar
banyak salju jatuh, banyak hujan es jatuh,
jatuh dan jatuh, tidak pernah berhenti
anjing senang berjalan disekitar taman, 
kucing meringkuk dibawah kotatsu tersebut

Sumber:

http://en.wikipedia.org/wiki/warabe uta

Manga

Manga yang kadang kala kita sering mengejanya dengan kata Ma-Nga, merupakan bahasa yang diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai komik. Bangsa Jepang sendiri mengeja Manga yaitu Man-Ga atau Ma-Ng-ga dan arti harfiahdari kata Manga adalah "gambar aneh". Manga di Jepang pertama kali muncul pada jaman Edo, dimana seorang pemahat kayu dan pelukis bernama Katsushika Hokusai (1760-1849), menciptakan istilah Hokusai Manga pada serial sketsanya yang berjumlah 15 volume dan diterbitkan pada tahun 1814. Hokusai sendiri berasal dari dua huruf China yang memiliki arti gambar manusia untuk menceritakan sesuatu. 

Di akhir abad 18, Kibyoushi, sebagai buku komik pertama yang berisi cerita muncul dengan tatanan gambar yang dikelilingi oleh tulisan (atau tulisan di samping gambar) sebagai narasinya. Manga tidak begitu berkembang hingga Perang Dunia II. Pada awal abad 19, muncul seorang mangaka yang membawa sejarah baru di dunia manga Jepang. Dia adalah Osamu Tezuka (1928-1989), karyanya yang terkenal adalah Tetsuwan Atom (yang di Indonesia dikenal sebagai Astro Boy) dan manganya yang diadaptasi dari novel Treasure Island karya Robert Louis Stevenson meraih nilai penjualan tertinggi nasional karena sukses dijual sebanyak 400.000 eksemplar.

Majalah-majalah sendiri tersebut biasanya mempunyai tebal berkisar antara 200 hingga 850 halaman. Sebuah judul Manga yang sukses dapat terbit hingga bertahun-tahun seperti Jojo no kimyo na Boken, Jojo's Bizzare  Adventure. Umumnya judul-judul yang sukses dapat diangkat untuk dijadikan animasi, atau lebih dikenal dengan istilah anime. Contohnya adalah Naruto, Bleach, dan Digimon.



Naruto


Bleach


Digimon




Setelah beberapa lama, cerita-cerita dari majalah itu akan dikumpulkan dan dicetak dalam bentuk buku berukuran biasa, yang disebut tankōbon (atau kadang dikenal sebagai istilah volume). Komik dalam bentuk ini biasanya dicetak di atas kertas berkualitas tinggi dan berguna buat orang-orang yang tidak atau malas membeli majalah-majalah manga yang terbit mingguan yang memiliki beragam campuran cerita/judul. Dari bentuk tankōbon inilah manga biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain di negara-negara lain seperti Indonesia. 

Karena pada mulanya komik di Jepang adalah peniruan dari film animasi, dari Walt Disney, Amerika,maka penggemarnya adalah anak-anak. Pada tahun 1959 muncullah dua majalah mingguan anak laki-laki yaitu Shonen Magazine dan Shonen Sunday. Saat itu, belum ada anime (sebutan film kartun di Jepang) dan game di komputer. Sepuluh tahun kemudian, majalah komik untuk remaja mulai terbit, seperti Manga Action (1967), Young Comic, (1967), Big Comic (1967) dan Play Comic (1968) 


Beberapa manga cerita aslinya bisa diangkat berdasarkan dari novel / visual novel, contohnya adalah 'beasilik' (tidak beredar di Indonesia) berdasarkan dari novel koga Ninpocho oleh Futaro Yamada yang menceritan antara klan ninja Tsubagakure Iga dan klan ninja Manji dan Koga. 



Beberapa judul yang sukses bahkan telah dibuat versi manusia (Live Action, biasanya disingkat L.A. di Jepang). Berikut ini adalah beberapa judul yang sukses diangkat menjadi Live Action:


Death Note



Detective Conan



Dragon Ball 



Senin, 24 Juni 2013

Kimono

Setiap negara pasti memiliki pakaian tradisional masing-masing. Di Jepang, salah satu pakaian tradisionalnya adalah kimono. Kimono cukup terkenal di dunia, hampir semua orang pernah melihatnya bahkan memakainya. Arti harfiah kimono (着物adalah baju atau sesuatu yang dikenakan (ki berarti pakai, dan mono berarti barang




Kimono sekarang ini lebih sering dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut furisode. Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Perempuan yang genap berusia 20 tahun mengenakan furisode untuk menghadiri seijin shiki. Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal lainnya. Ketika tampil diluar arena sumo, pesumo profesional diharuskan mengenakan kimono. Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi-go-san. Selain itu, kimono dikenakan oleh pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan wanita rumah makan tradisional (ryotei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan)

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome isho) terdiri dari furishode danuchikake (mantel yang dikenakan di atas furisode). Furisode pengantin wanita berbeda  dari furisode untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan untuk furisode pengantin diberi motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang. Warna furisode pengantin juga lebih cerah dibandingkan furisode biasa. Shiromuku adalah sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupa furisode berwarna putih bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.


















Kimono berkembang sesuai zamannya, berikut adalah sejarah kimono:


Zaman Jomon dan zaman Yayoi


Kimono zaman Jomon dan zaman Yayoi berbentuk seperti baju terusan. Dari situs arkeologi tumpukan kulit kerang zaman Jomon ditemukan haniwa. Pakaian atas yang dikenakan haniwa disebut kantoi (貫頭衣).



Zaman Kofun

Pakaian zaman Kofun mendapat pengaruh dari daratan China, dan terdiri dari dua potong pakaian yaitu pakaian atas dan pakaian bawah. Haniwa mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai menutupi kantoi. Pakaian bagian bawah berupa rok yang dililitkan di pinggang. Dari penemuan haniwa terlihat pakaian berupa celana berpipa lebar seperti hakama.



Zaman Nara

Pada zaman Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan kimono. Apabila sebelumnya kerah bagian kiri harus berada di bawah kerah bagian kanan, sejak zaman Nara, kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Cara mengenakan kimono dari zaman Nara terus dipertahankan hingga kini. Hanya orang meninggal lah dipakaikan kimono dengan kerah kiri berada di bawah kerah kanan.



Zaman Heian

Ada tiga jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:



·         Sokutai (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)
·         I-kan (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan dari sokutai)
·         Noshi (pakaian untuk kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan i-kan).


Zaman Kamakura dan zaman Muromachi








Pada zaman Sengoku, kekuasaan pemerintahan berada di tangan samurai. Samurai mengenakan pakaian yang disebut suikan. Pakaian jenis ini nantinya berubah menjadi pakaian yang disebut hitatare. Pada zaman Muromachi, hitatare merupakan pakaian resmi samurai. Pada zaman Muromachi dikenal kimono yang disebut suō (素襖), yakni sejenis hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis dalam. Ciri khas suō adalah lambang keluarga dalam ukuran besar di delapan tempat.



Awal zaman Edo





Penyederhaan pakaian samurai berlanjut hingga zaman Edo. Pakaian samurai zaman Edo adalah setelan berpundak lebar yang disebut kamishimo (). Satu setel kamishimo terdiri dari kataginu (肩衣) dan hakama. Di kalangan wanita, kosode menjadi semakin populer sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren busana. Tali pinggang kumihimo dan gaya mengikat obi di punggung mulai dikenal sejak zaman Edo. Hingga kini, keduanya bertahan sebagai aksesori sewaktu mengenakan kimono.



Akhir zaman Edo

Politik isolasi (sakoku) membuat terhentinya impor benang sutra. Kimono mulai dibuat dari benang sutra produksi dalam negeri. Pakaian rakyat dibuat dari kain sutra jenis crape lebih murah. Setelah terjadi kelaparan zaman Temmei (1783-1788), keshogunan Edo pada tahun 1785 melarang rakyat untuk mengenakan kimono dari sutra. Pakaian orang kota dibuat dari kain katun atau kain rami. Kimono berlengan lebar yang merupakan bentuk awal dari furisode populer di kalangan wanita.


Zaman Meiji dan zaman Taisho

Industri berkembang maju pada zaman Meiji. Produksi sutra meningkat, dan Jepang menjadi eksportir sutra terbesar. Tersedianya beraneka jenis kain yang dapat diproses menyebabkan berkembangnya teknik pencelupan kain. Pada zaman Meiji mulai dikenal teknik yuzen, yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan corak kain di atas kain kimono.



Di era modernisasi Meiji, bangsawan istana mengganti kimono dengan pakaian Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan tradisional tidak menjadi terpengaruh. Orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi yang dipelihara sejak zaman Edo. Sebagian besar pria zaman Meiji masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Setelan jas sebagai busana formal pria juga mulai populer. Sebagian besar wanita zaman Meiji masih mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.



Zaman Showa

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, wanita Jepang mulai kembali mengenakan kimono sebelum akhirnya ditinggalkan karena tuntutan modernisasi. Dibandingan kerumitan memakai kimono, pakaian Barat dianggap lebih praktis sebagai pakaian sehari-hari.


Hingga pertengahan tahun 1960-an, kimono masih banyak dipakai wanita Jepang sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono terangkat kembali setelah diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan wol. Wanita zaman itu menyukai kimono dari wol sebagai pakaian untuk kesempatan santai.

Demikianlah penjelasan mengenai kimono. Pada kenyataannya kimono cukup sulit untuk dipakai karena ada beberapa tahapannya. Namun setelah dipakai hasilnya sangat bagus. 

Chanoyu

Di Jepang ada tradisi yang berbeda dari negara lain, yaitu upacara minum teh. Upacara minum teh (茶道 sadō, chadō, jalan teh) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯) atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.


Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.
Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh (chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut.


Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.
Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō.
Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.
Lu Yu (Riku U) adalah seorang ahli teh dari dinasti Tang di Tiongkok yang menulis buku berjudul Ch'a Ching () atau Chakyō. Buku ini merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.
Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan rakyat juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan tidak secara serius seperti sedang bermain-main.
Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dalam upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai spiritual dalam upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijaku yang berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.
Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yang menggunakan matcha yang disempurnakan kalangan samurai menjadi tidak populer di kalangan masyarakat karena tata krama yang kaku. Masyarakat umumnya menginginkan upacara minum teh yang bisa dinikmati dengan lebih santai. Pada waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pada teh sencha yang biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yang menggunakan sencha juga mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yang dikenal juga sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dengan sencha (Senchadō) yang menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.
Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era Meiji. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.
Itulah yang membuat Jepang berbeda dengan negara lain. Di sebagian negara mungkin teh hanya minuman biasa saja, namun di Jepang teh memiliki arti yang sangat luas bahkan ada upacaranya. 


Furoshiki




Kali ini kami akan membahas lebih jauh mengenai Furoshiki dan fungsinya. Furoshiki adalah kain berbentuk segi empat dengan beragam warna dan corak yang kerap digunakan untuk mengemas, menjinjing dan menyimpan barang-barang. Kerap digunakan sebagai pembungkus hadiah, dibentangkan di lantai sebagai alas lantai atau pun sekedar menjadi dekorasi ruangan. menarik, bukan?



Awalnya furoshiki digunakan oleh pemandian umum, yaitu pusat berkumpulnya masyarakat kalangan biasa sebagai kain pembuntal pakaian dan perlengkapan mandi mereka pada tahun 1600-an. Seiring dengan perkembangan zaman, furoshiki semakin modern dan bisa digunakan untuk apa saja.




Pada perkembangan berikutnya, Furoshiki juga digunakan saat pesta pernikahan sebagai pembuntal seserahan. Kain yang digunakan umumnya bermotif burung bangau, kipas, pohon cemara dan ombak yang dipercaya akan membawa berkah dan kebahagiaan bagi penggunanya. Belakangan ini pengunaan furoshiki untuk membuntal barang bawaan kembali dihidupkan sebagai gerakan untuk menjaga lingkungan sekaligus pengkajian kembali budaya tradisional Jepang. 





Sejumlah cara penggunaan yang inovatif pun bermunculan. Furoshiki menjadi lebih digemari dan semakin sering digunakan misalnya sebagai tas, sebagai pembungkus kado dan dekorasi interior. Hal yang terpenting dari furoshiki ini adalah konsep ‘penggunaan’ yang berulang. Furoshiki tidak untuk digunakan sekali pakai. Menggunakan furoshiki juga berarti mengurangi penggunaan materi baru untuk pengemasan sekaligus mengurangi pengunaan kemasan yang berlebihan. Bahkan pada tahun 2006 menteri lingkungan Jepang saat itu Yuriko Koike menjadikan "Mottainai Furoshiki" sebagai simbol kebudayaan jepang dalam mengurangi jumlah sampah. 


Forushiki ini menunjukkan bahwa dari dulu nenek moyang bangsa Jepang sudah menerapkan kecintaan terhadap lingkungan, begitu juga nenek moyang kita karena yang sama-sama kita tahu bahwa banyak kearifan lokal yang sekarang ini banyak terlupakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, mungkin jika kita bisa menggalinya masih banyak hal baik seperti Furoshiki ini yang bisa kembali kita aplikasikan demi menjaga lingkungan kita ini.

Nah..setelah mengetahui sedikit pengetahuan tentang Furoshiki, bagaimana? apakah kalian tertarik untuk menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari baik itu sebagai pengganti plastik atau untuk keperluan lainnya, kalau kami tentu saja tertarik walaupun tidak punya kain furoshiki kita bisa menggantinya dengan kain lain bisa slayer atau kain lainnya seperti batik misalnya.